It’s like
screaming but no one can hear. Aku tidak pernah diam, hanya saja tak ku biarkan
mereka mendengarnya. Tidak pernah ada kata saling dalam hubungan kami. Terasa
pahit, tapi begitulah faktanya. Sama-sama merasakan bagian tersulit dalam
mencintai seseorang, yaitu menunggu dia yang dicinta balas mencintaimu. Karena
seringnya orang kau cintai dan mencintaimu adalah bukan orang yang sama.
Author : @kimdasoy
Tittle : The Unsaid Feeling
Length : one shoot
Genre : Romance, Angst, Family
Rating : Teen
Cast : Bang Minah
Kim Taehyung
Wu Yifan
This fanfiction dedicated
to HiDesignRP 1st anniversary
Send to Mr.Wu
Jam 10 malam, temui aku
di café ujung jalan dekat kantormu
20:45
=Message sent=
Minah POV
“ Apa kau yakin Yifan
hyung akan menemuimu? “ celetuk Taehyung meyakinkanku. Entah sudah berapa kali
pertanyaan itu ia lontarkan kepadaku. Indra pendengaranku sepertinya juga sudah
bosan menerimanya, dijejali pertanyaan yang aku pun masih ragu harus diberi
jawaban apa.
Mobilnya pun
melaju perlahan menepi ke pinggir jalan,
membuatku sadar bahwa kami hampir sampai di café tempat aku akan bertemu
dengan hyungnya, Wu Yifan.
Wu Yifan dan Kim
Taehyung, kakak beradik itu memang jauh berbeda jika dibandingkan. Mereka bukan
berasal dari rahim yang sama, jadi tidak heran jika orang lain –termasuk aku
tidak melihat hubungan keluarga di antara mereka seperti kebanyakan yang
kulihat di serial drama korea yang sering kutonton. Setahuku hubungan kakak
beradik antara namja itu sangat menyenangkan, sang kakak dengan gaya bossy nya akan seenaknya memperlakukan
sang adik. Sedangkan sang adik dengan childish-nya
menolak sang kakak. Ya seperti itulah pokoknya, entah hal itu berlaku juga di
dunia nyata atau tidak.
Wu Yifan dan Taehyung
tinggal di atap yang berbeda. Yifan lebih memilih tinggal di apartemen mewah
daripada tinggal bersama dengan keluarga barunya itu. Entahlah Yifan memang
keras kepala, berulang kali ayahnya meminta untuk tinggal bersama dengan maksud
membentuk keluarga baru yang utuh dan bahagia namun berulang kali pula ayahnya
mendapat penolakan darinya. Tidak ada yang mampu menghentikan sifat buruk Yifan
yang satu itu, termasuk ayahnya sendiri – orang yang selama 26 tahun memberikan
kehidupan yang layak baginya.
Ibu Yifan sudah
lama meninggal, Yifan pun tidak sempat mengingat wajah wanita yang telah
mengandungnya selama sembilan bulan. Dua bulan setelah dilahirkan bukanlah hal
yang cukup baginya untuk mengingat bagaimana rupa wanita yang telah mengasihinya
itu. Hanya selembar foto dan cerita dari ayah maupun neneknya yang dapat
menggambarkan sosok ibu baginya. Dari cerita orang terdekatnya, Yifan mengambil
kesimpulan bahwa ibunya adalah wanita yang cantik, tegar, dan kuat.
Yifan tumbuh
menjadi pribadi yang keras kepala, tidak suka diganggu, dan lebih suka sendiri.
Apa enaknya hidup seperti itu. Apakah kesendirian dapat membuatnya bahagia?
Dengan siapa ia akan berbagi cerita hidupnya? Tapi begitulah seorang Wu Yifan,
namja yang dingin dan penyendiri itu.
Berbeda dengan
adiknya –maksudku saudara tirinya yang lebih muda, Kim Taehyung tumbuh dengan
pribadi yang riang dan menyenangkan, sedikit menjengkelkan juga bagiku
terkadang. Usia yang terpaut 5 tahun jelas terlihat di antara saudara tiri itu.
Selama mengenal Taehyung, aku tidak pernah melihatnya serius mengerjakan
sesuatu bahkan saat sedang ujian penerimaan mahasiswa baru. Mungkin bukan bakat
seorang Taehyung untuk mendalami bisnis melalui perguruan tinggi jadi bisa saja
anak itu sengaja main-main dalam ujian itu. Entahlah, itulah sosok Taehyung
yang kukenal.
Aku
menghembuskan nafas panjang, membuang semua pikiran-pikiran kalut yang memenuhi
otakku. Kemudian menghirup nafas dalam-dalam memastikan otakku terisi oksigen
dengan cukup agar fungsi kerjanya tidak kacau.
“Kalau begitu
yakinkan hyung-mu agar tidak membuatku menunggunya terlalu lama. OK ? “ jawabku dengan
sedikit nada yang kubuat seimut yang ku bisa sambil memberinya wink adalanku,
tersenyum semanis mungkin berharap Taehyung mau menuruti kata-kataku. Aish
sebenarnya ini menjijikan, tapi tak apalah aku pun tak diharuskan menjaga harga
diriku terlalu tinggi di hadapan namja tengil ini, toh memang faktanya aku ini
imut.
Mobilnya pun
berhenti tepat di depan café. Aku pun melepas sabuk pengaman yang dipakaikan Taehyung
tadi. Entah mengapa seketika aku menjadi
gugup, sekuat yang ku bisa mengumpulkan kembali puing-puing pikiran positifku
yang sejak tadi berhamburan entah kemana.
Jujur saja aku
tak pernah segugup ini, aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasa gugup.
Bahkan saat aku akan melakukan interview dengan Choi Seug Hyun –manager Choi
Corporation, salah satu perusahaan ternama di negeri ini. Bermodalkan otak yang
kubanggakan ini, aku sangat yakin dapat melalui interview dengan manager tampan
ini.
“Aku berani
taruhan kalau Yifan hyung tidak akan datang. Hahahaha “ Tawa Taehyung memecah
keheningan membuat gugupku semakin menjadi-jadi. Entah apa yang membuatnya
tertawa sekeras itu, kurasa tidak ada yang lucu dan tidak ada yang sedang
melakukan sesuatu yang lucu disini. Dia terlihat benar-benar mengejekku.
Menjengkelkan.
Kini tiga per
empat otakku telah dipenuhi kata-kata Taehyung tadi, seperempatnya lagi
memikirkan untuk menerima taruhannya. Dia yang menawarkan diri untuk mengantarku
bertemu dengan hyungnya tetapi dia juga yang meyakinkanku sekali lagi bahwa
hyungnya tidak datang. Apa-apaan ini, dia seperti mempermainkan perasaanku. Apa
dia dan hyung-nya telah menyusun suatu rencana untuk mempermainkanku? Kakak
beradik itu sama saja, bertindak seenaknya.
Aku pun membuka
pintu mobilnya, melangkahkan kaki keluar, enggan berlama-lama menghabiskan
waktu untuk memperdebatkan hal yang kurasa tidak perlu diperdebatkan dengan namja
tengil itu. Aku bukan tipe wanita yang suka dengan perdebatan karena aku tidak
pandai bermain kata dan logika. Salah sedikit saja bicara, dia akan tahu betapa
minimalisnya otakku sehingga membuatku terihat bodoh. Membuatku mati gaya saja.
Lagipula berdebat
itu menjengkelkan, mengeluarkan banyak tenaga hanya untuk memenangkan pendapat
masing-masing. Padahal benar dan salah itu adalah sesuatu yang abstrak,
tergantung kau ada di posisi yang seperti apa. Tidak ada yang benar dan salah
dalam mengeluarkan pendapat, itu adalah hak seseorang.
Sebelum
benar-benar meninggalkannya masuk ke café, aku memutar tubuhku ke arahnya.
Menghampirinya yang masih aja mengamatiku dari dalam mobilnya. “Gomawo telah
mengantarku, aku akan mentraktimu besok. “
“Apa ini jawaban
atas taruhanku yang tadi? Jadi kau menerima taruhanku? Hahaha” tawanya
menggelegar, membuatku setengah mati ingin memukulnya. Sayangnya, tidak ada
sesuatu di tanganku yang bisa digunakan untuk memukulnya dan menghentikan
tawanya. Hanya ada rasa kesal yang semakin menjadi-jadi membuatku ingin
mencacinya, tetapi mengingat ia yang telah mengantarku kesini, rasa kesalku
tiba-tiba saja menguap entah kemana. Oh –baik hati sekali aku ini.
Seolah bisa
membaca raut wajahku yang sudah memerah, entah karena aku gugup atau kesal
karena tawa menegejeknya tadi. Taehyung pun cepat-cepat berlalu dengan
mobilnya, menghindari emosiku yang hampir meledak yang sangat ingin kutumpahkan
kepadanya mungkin.
“good luck
nuna!” hanya itu yang kudengar dari kejauhan, suaranya memudar terbawa angin
malam yang kian kencang berhembus. Setelah memastikan Taehyung benar-benar
pergi, aku pun masuk ke café.
***
“terima kasih” ucapku pada pelayan muda yang
mengantarkan pesanan Ice Coffee Moccachino favoritku. Entah mengapa aku lebih
suka kopi dingin walaupun kebanyakan pelanggan disini lebih memilih kopi panas
untuk menetralkan suhu tubuh mereka karena dinginnya kota Seoul malam ini.
Aku memilih meja
dengan 2 kursi yang ada di sudut kanan café ini. Sesekali bunyi lonceng dari
pintu café mengalihkan pandanganku, lonceng yang berbunyi ketika ada pelanggan yang datang maupun pergi. Aku mengamati
setiap pengunjung yang datang, memastikan apakah itu Wu Yifan yang sedang
kutunggu saat ini.
Apa aku harus
memesan kopi ketiga sembari menunggunya ?
gumamku dalam hati.
Apa dia benar benar tidak akan datang? Ku hela
nafas panjang menghembuskan rasa putus asa ku ini.
Ku lirik jam
tangan yag melingkar di pergelangan tangan kiri ku, jarum pendek menunjukkan
angka 12 dan jarum panjangnya menunjukkan angka 9. Pukul 11:45. Kulihat sekitarku,
hanya ada beberapa kursi yang masih ada pelanggannya, sisanya hanya meja kosong
dengan sisa sisa makanan serta minuman yang telah ditinggali pemiliknya.
Beberapa pelayan pun terlihat sibuk membereskan meja dan kursi tersebut.
“Permisi agashi,
apakah Anda masih menunggu seseorang? Sebentar lagi Café ini akan tutup.” ujar
pelayan wanita di café ini memberitahuku.
“Hm…jadi begini ya
cara halus seorang pelayan mengusir pelanggannya?” jawabku dengan senyum sinis.
Aku tak mampu lagi mengemas emosiku dengan baik, sehingga terlihat sinis pada
setiap orang yang memandangku, bukan hanya kepada pelayan di café ini yang
sedari tadi memandangku aneh tetapi juga pada pengunjung lain yang sesekali
menoleh kepadaku.
“Baiklah,
15 menit lagi kau bisa meninggalkan café ini.” Jawab pelayan itu sembari
membungkukkan badannya. Mungkin sebagai tanda permintaan maaf karena telah
mengusirku dari café ini secara halus.
Aku
memandang kaca bening yang terdapat di sisi kananku, kaca yang menjadi pembatas
antara café ini dengan jalanan diluarnya. Café ini terletak di pinggir jalan
besar, setidaknya aku sedikit dapat membunuh rasa bosanku dengan hanya melihat
beberapa orang yang berlalu-lalang karena sekarang jalanan sudah hampir sepi. Tidak
ada yang menarik lagi yang bisa kupandang disini.
Dapat
kulihat bayangan diriku sendiri akibat pantulan kaca bening ini. Hanya bayangan
ini yang menemaniku dari tadi, ini terlihat konyol. Aku seperti sedang
berkencan dengan bayanganku sendiri. Sangat jelas terlihat bahwa aku sangat
lusuh, jelas saja karena Taehyung langsung mengantarku ke café ini setelah pekerjaanku
selesai.
Aku baru sadar bahwa aku tidak sempat memoles
wajahku dengan make up, setidaknya menutupi sedikit wajah lelahku karena pekerjaan
yang menggunung tadi. Apa kecantikanku akan berkurang hanya karena tidak
memakai make up? Bukankah terlihat natural tanpa make up jauh lebih cantik? Ya
begitulah kira-kira.
Aku terlihat seperti wanita yang putus asa
karena ditolak atau baru saja putus cinta. Padahal aku tidak termasuk ke dalam
dua kategori itu. Aku bahkan belum mengungkapkan perasaanku kepadanya bagaimana
bisa garis-garis yang ada di wajahku menunjukkan ekspresi bahwa aku ditolak.
Putus cinta? Bahkan aku saja tidak tahu siapa namja yang akan mencintaiku
dengan benar.
Aku hanya ingin mencintai seseorang satu kali
saja, menjadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku. Aku tidak mau mempunyai ataupun
berbagi cerita cinta yang kandas. Setahuku orang-orang yang memiliki hubungan
cinta yang kandas itu menyeramkan, hidupnya menjadi kacau dan berantakan.Lagi
pula cerita putus cinta bukanlah hal yang menarik untuk diceritakan. Aku tidak
mau menjadi menyedihkan dan mendapat belas kasihan dari orang lain.
Maka
dari itu aku memiliki kriteria dalam memilih pasanganku nanti. Persetan dengan
itu setinggi-setingginya kriteria dalam menentukan pasangan tentu akan kalah
ketika jatuh cinta tanpa alasan. Entahlah, aku tak tahu banyak perihal tentang
cinta.
Wu
Yifan –namja penyendiri itu aku telah menjatuhkan pilihan hatiku padanya. Namja
tampan nomor satu yang menjadi kriteria pasangan setiap wanita. Tak ada cacat
sedikitpun pada fisiknya. Hanya saja kepribadiannya yang dingin itu, membuat
setiap wanita menjadi berpikir dua kali untuk menjadikannya urutan teratas
sebagai pasangannya kelak.
Aku
sedikit bersenang hati karena setidaknya ‘lawan’ku sudah mengibarkan bendera
putih bahkan sebelum peperangan dimulai. Sedikit keuntungan bagiku untuk
memulainya –menggoreskan tinta kisah cintaku pada lembar kehidupanku. Atau aku
yang terlalu percaya diri? Dengan lantang mengikrarkan bahwa aku pasti akan
menaklukkan hati seorang Wu Yifan. Aku bahkan tidak tahu sedikit pun kriteria
yeoja kesukaan Wu Yifan. Ini terlihat seperti aku menyerahkan diri kepada Yifan
untuk menjadi bahan yang akan dipermalukan di depan banyak orang nantinya.
“Yeobosseo, Wu Yifan-ssi . Kami dari Kona
Bean Café. Apakah Anda mengenal Bang Minah-ssi ? Wanita ini tertidur di café
kami, kontak terakhir di ponsel nya adalah dengan Anda. Maaf telah mengganggu
waktu berharga Anda, Khamsahamnida”
***
Author POV
Bang
Minah masih berkutat dengan lembaran-lembaran kertas yang memenuhi meja
kerjanya yang minimalis itu. Entah sampai kapan ia akan terus menganalisis
data-data perusahaan yang mungkin saja bagi sebagian orang terasa membosankan tetapi
tidak baginya. Sesekali ia memandangi layar lebar pada ponsel canggihnya yang
diletakkan di sisi kanan mejanya, entah sekedar melihat jam atau memang sedang
menunggu ponselnya berdering sebagai tanda ada pesan yang ia terima.
Jam
di ponselnya menunjukkan pukul 12:15 , sudah jam makan siang tetapi rasa lapar
belum dirasakan perutnya, setidaknya lapar di perutnya itu bisa membuatnya mengistirahatkan
tubuhnya sejenak. Apa ia sudah merasa kenyang dengan setumpuk lembaran kertas
itu ? Ataukah ia sedang dalam program
diet? Bukankah berat badan 49 kg sudah ideal ? wanita memang kadang serepot
itu. Entahlah.
New Message Received
Uri Taehyung
Nuna, apa kau sengaja membuatku mati
kelaparan? Aish…apa sekarang kau menjadi gadis muda yang sudah pikun?
Belum sempat membaca pesannya sampai selesai, gadis bertubuh mungil itu segera menyambar tas kulit berwarna pink muda nya –tas keluaran terbaru incarannya bulan ini. Raut wajahnya seketika berubah memerah seperti tomat. Sepertinya ia terkejut atau memang ia benar-benar terkejut, sepertinya ia melupakan sesuatu yang sangat penting.
Pesan yang baru
saja ia terima membuatnya melupakan tumpukan kertas yang menggunung di mejanya.
Membuatnya meninggalkan ruangan kerjanya itu. Sepuluh menit kemudian ia sudah
berada di luar gedung kantornya. Ia memutuskan untuk berlari ke café yang
terletak di ujung jalan gedung kantornya itu, rasanya menunggu taksi hanya
membuang waktunya. Tak peduli dengan pandangan orang lain yang menganggap aneh
tentang dirinya karena di siang hari ini ada pertunjukan marathon seorang
wanita dengan sepatu hak tinggi.
***
Taehyung POV
Dua gelas mocca
float dan potato stick yang sedari tadi kuabaikan kini telah habis kulahap. Setidaknya aku bisa
melampiaskan kesalku pada makanan ringan itu, sedikit melupakan kesalku pada
Minah yang telah membuatku lama menunggu. Kini hanya ada sisa-sisa makanan di
depanku sedangkan kursi di hadapanku masih saja kosong. Satu mocca float yang
kupesan untuknya terpaksa aku minum, karena es nya telah mencair dan sepertinya
rasanya sudah tidak seenak saat pertama kali dipesan.
“Mianhe…”
Sepatah kata ku
dengar mencelos begitu saja, aku terhenyak melihat sosok gadis di hadapanku.
Keringatnya menetes deras membasahi baju yang ia kenakan, wajahnya pun memerah
seperti tomat. Nafasnya terengah-engah seperti baru saja dikejar setan di siang
hari, aku rasa paru-parunya kini telah kehabisan oksigen.
“Mianhe, pesan
saja sesukamu, aku yang bayar!” ucapnya sembari menarik kursi yang ada di
hadapanku. Ia duduk menyandarkan pungggungnya pada sisi kursi, menghirup
oksigen dengan banyak untuk menetralkan nafasnya yang perlahan mulai kembali normal.
Aku masih
menatapnya heran, yang benar saja dia hanya bilang maaf setelah membuatku
menunggunya 30 menit. Bahkan cacing-cacing di perutku pun sudah kenyang menggerogoti
dinding perutku. Tapi melihat ekspresinya kini membuat emosiku menguap begitu
saja, rasa laparku hilang entah kemana.
“Sudahlah, menunggumu
sudah membuatku kenyang.” Sahutku jengkel
“Taehyung-ah
mianhe hm? Kau kan tahu aku ini pelupa. Aku janji ini yang terakhir kalinya aku
begini. Aku janji. Taehyung-ah….” Ucapnya memelas dengan aegyo khasnya.
“aish…berhenti
bersikap menjijikan nun. Kau benar-benar jelek “ ucapku ketus mengalihkan
pandanganku dari Minah. Membuat ekspresi Minah berganti menjadi jengkel. Jujur
saja ini lucu, gadis itu seperti bunglon, cepat sekali mengganti ekspresi
wajahnya hanya dalam waktu beberapa detik.
Tak lama
kemudian segelas mocca float disajikan di hadapan kami, sengaja kupesankan
untuk menggantikan mocca float Minah yang kuminum tadi. Minah langsung
menyambarnya tak sabar, meminumnya untuk sekedar membasahi tenggorokannya yang
kering karena sedari tadi tak berhenti berbicara.
“hyung mu tidak
datang” Minah kembali bersuara, ia mengaduk minuman yang sudah seperempat
masuk ke tenggorokannya. Ia terlihat
kecewa, tatapannya kosong, raut wajahnya lesu tak bersemangat.
“Aku tahu”
jawabku datar.
“Hah? Tahu dari
mana? Kau merencanakan sesuatu dengan hyung-mu ya? ” Minah melongo heran. Dapat
kulihat tanda tanya besar dari tatapan matanya. Ia menatapku dalam-dalam seolah
mencari jawaban dari mana aku tahu kalau malam itu Yifan hyung tidak datang.
“Kalau Yifan
hyung datang, tidak mungkin kau akan mentraktirku begitu saja. Akui saja
kekalahanmu atas taruhan semalam. Hahahahaha” tawaku terbahak-bahak membuat
Minah benar-benar jengkel. Dapat kulihat dari raut wajahnya yang kini seperti
anjing liar, menyeramkan.
“anggap saja itu
balasan karena kau telah mengantarku semalam, aku kan baik hati tahu bagaimana
caranya membalas budi.” Ucapnya sinis sambil meminum mocca float nya lagi.
Aku mengacungkan
tangan di udara, memanggil pelayan untuk memesan makanan. Terlalu keras tertawa
membuat lapar ku datang lagi. Kupesan makanan favoritku di café ini, spaghetti
dengan saus bolognaise dan taburan keju diatasnya. Minah masih saja menggerutu
kesal, hingga tak mau memesan apapun. Aku tidak tahu apakah dia tidak lapar
atau sedang diet, apa memasukkan beberapa kalori saja akan membuat berat
badannya bertambah drastis? entahlah. Dasar gadis aneh.
--Flashback On--
-The number you are calling is not active,
please try again later-
Taehyung
melempar benda tipis tak bersalah itu ke sisi kirinya, kini ponsel
kesayangannya yang menjadi pelampiasan emosinya kali ini. Tujuh kali tidak
mendapat jawaban dari hyung-nya, operator memberi tahu bahwa kini ponsel
hyung-nya tidak aktif. Emosinya kian memuncak, ia menginjak pedalnya
dalam-dalam, melajukan mobil sejadi-jadinya membelah keheningan kota Seoul
malam itu.
Apartemen
mewah yang berada di pusat kota itu terlihat tak berpenghuni, lorongnya gelap
dan sempit. Hanya ada beberapa lampu yang menyinari di setiap lorongnya,
terihat meyeramkan. Kini Taehyung telah berada di depan pintu 407 lantai 17
dari 35 lantai yang ada di apartemen ini. Ia menekan bel beberapa kali namun
pintu tak juga terbuka. Tak dapat membendung lagi kesabarannya, Taehyung pun
mengetuk pintunya.
“Hyung!
Yifan Hyung !!!” suaranya lantang bersamaan dengan ketukan tangannya yang
beradu pada pintu apartemen itu, sedikit membuat kegaduhan karena suaranya
mengganggu penghuni lain. Tak lama pintu pun terbuka.
“Wae
?” satu kata tanya terlontar, sapa dingin khas seorang Wu Yifan. Yifan hanya
menunjukkan dirinya dari balik pintu. Jangankan mengajak Taehyung untuk
menikmati secangkir teh hangat untuk menetralkan suhu tubuh Taehyung dari
dinginnya kota Seoul, mengajaknya masuk ke dalam dan bicara baik-baik saja
tidak. Yifan benar-benar pria yang dingin.
“Kau
benar-benar tidak datang?” Taehyung menatap hyung-nya tajam, matanya memerah,
garis-garis di wajahnya kini semakin menegang. Tangannya mengepal, menggenggam
semua emosi yang mengumpul di isi kepalanya.
“dia
menunggumu hyung !!! “ Taehyung menambahkan ucapannya dengan nada yang kian
meninggi.
“Minah
? “ Yifan memperjelas kata ‘dia’ yang dimaksud Taehyung.
“Bahkan
aku belum memberikan jawaban atas pesannya tadi. Kurasa aku tidak memiliki
janji dengan siapapun. Dan kalau kau tidak bodoh, harusnya kau tidak
meninggalkan gadis itu sendirian hingga tertidur di cafe. Pelayan café itu menghubungiku,
bukankah itu konyol? “ jelas Yifan panjang lebar dengan tatapan malasnya.
Mungkin tadi adalah kalimat terpanjang yang ia keluarkan, mengingat Yifan
adalah pria yang tidak suka berbasa-basi.
Kini
suasana antara Taehyung dan Yifan kian memanas, lorong yang dingin dan sempit
itu tiba-tiba saja berubah menjadi panas akibat emosi dua namja itu yang
meletup-letup. Seperti serigala liar, Taehyung semakin tajam menatap hyung-nya
sedangkan Yifan hanya menatapnya malas.
Brukkk !!!
Tiba-tiba
saja satu hantaman mendarat di wajah Yifan. Terlihat darah segar mengalir di
sudut bibirnya. Bekas gambar tangan Taehyung terlihat jelas di wajah tampan
Yifan. Yifan tak membalas, hanya mengelap darah yang mengalir itu dengan
punggung tangannya. Tak seperti Taehyung, Yifan lebih pandai mengontrol dan
mengemas emosinya dengan baik. Berkelahi bukan cara pria dewasa menunjukkan
emosinya, kurang lebih seperti itu pikiran seorang Wu Yifan.
“pria
yang dia cintai, mengapa harus kau ?” ucap Taehyung dengan nada merendah. Ia
pun pergi meninggalkan hyung-nya yang masih tersungkur di lantai. Enggan
melihat hyung-nya lebih lama, ia pun melangkah gontai membawa pergi dirinya
dengan pikirannya yang semakin kacau jika terus melihat wajah hyung-nya.
--Flashback Off--
Minah POV
“seringnya orang
kau cintai dan mencintaimu adalah bukan orang yang sama. Kau, aku, dan Yifan
hyung adalah salah satunya. Sama-sama mempunyai sesuatu untuk diungkapkan,
tetapi enggan untuk memulainya lebih dulu. Kita seperti jalan di tempat, tidak
maju tidak juga mundur, melakukan sesuatu tetapi belum terlihat adanya perubahan.
“
Aku sedikit
terkejut dengan kata-kata Taehyung tadi.
Sejak kapan namja yang telah ku anggap sebagai namdosaengku ini terlihat
serius seperti laki-laki dewasa, bahkan kata-katanya barusan jauh diatas
rata-rata namja seusianya. Jarak kami memang terpaut 2 tahun tetapi mengapa ia
terlihat lebih dewasa dariku kini. Entahlah, mungkin pemikiran laki-laki memang
seperti itu jauh lebih dewasa daripada perempuan.
“ OMO !!! uri Taehyung
telah tumbuh dengan baik. Tidak sia-sia aku mentraktirmu banyak makan, asupan
nutrisi ke otakmu memberi efek yang sangat baik. Hahahaha”
Aku mengacak
rambut Taehyung dengan gemas, kini tatanan rambut coklatnya menjadi berantakan
akibat ulahku. Tak terasa Taehyung telah menjadi dewasa sekarang, lalu
bagaimana denganku yang masih saja sering menangis saat menonton drama korea.
Entahlah tapi aku benar-benar nyaman dengan dunia seperti itu. Kkk~
“Apa kau baru
saja ditolak ? Mengapa tiba-tiba menjadi penyair cinta seperti itu? Sejak kapan
kau jatuh cinta, eoh? Apa cintamu
bertepuk sebelah tangan? Mengapa tidak pernah cerita padaku? Apa kau takut
uangmu habis jika mentraktirku makan sebagai pajak jadian? Hm? “ ucapku tanpa
henti membuat oksigen di paru-paru ku hampir habis.
Kini Taehyung
seperti terdakwa yang sedang diinterogasi oleh penyidik. Aku tak henti-hentinya
mengajukan berbagai pertanyaan, menuntaskan rasa penasaranku atas sikap Taehyung
yang tiba-tiba saja berubah menjadi laki-laki dewasa. Aku sebagai nuna-nya—ani
maksudku sebagai orang terdekatnya seharusnya tahu apa yang membuat Taehyung
terlihat lebih serius dan dewasa dari biasanya.
“Ya, aku jatuh
cinta.” Jawab Taehyung datar, menatapku dengan sendu namun cukup dalam.
“tanpa harus
kukatakan, aku sudah tahu jawabannya. Aku ditolak.” Taehyung hanya tersenyum
tipis, menarik sedikit bibirnya ke sudut kanan dan membuang pandangannya entah
kemana. Aku pun tidak dapat membaca ekspresi wajahnya saat ini, senyum yang ia
suguhkan di wajahnya tidak menggambarkan suasana hatinya dengan benar.
“Jangan pernah
mengambil kesimpulan sebelum kau benar-benar mencobanya. Tidak ada penolakan
yang terasa manis, aku tahu itu. Kau berhak mendapat jawaban atas semua
pertanyaan yang timbul akibat rasa penasaran yang selalu mengganggu pikiranmu.
Akhiri semua penasaranmu dengan baik, pastikan dengan benar jawaban yang ingin
kau ketahui dari gadismu. Ka— “
“ Bang Minah-ssi
saranghae “
Aku terdiam, tak
tahu sejak kapan bola mataku dan Taehyung bertemu, ia menatapku dalam-dalam.
Seperti ada yang ingin ia sampaikan lewat tatap mata itu, aku mencoba
membacanya dan kucoba menerka-nerka maksud tatapannya tadi, mengirimkan sinyal
ke otakku agar memberikan output atas sensor dari tatapannya tadi.
Seketika kusimpulkan
bahwa apa yang baru saja ia katakan adalah benar-benar pengakuan cintanya
padaku. Entah mengapa tiba-tiba saja semuanya terasa berbeda. Angin yang sedari
tadi berhembus menyejukkan hatiku kini berubah menjadi sangat dingin hingga terasa
seperti menusuk hingga ke tulang. Bibirku terasa kaku, seolah tak mampu
mengucap satu kata pun padahal isi otakku sudah hampir meledak mendengar
pengakuannya tadi.
“ aku baru saja
mencobanya dan benar saja, aku ditolak kan? Sudah kubilang aku takkan
mengatakannya tetapi kau tetap saja memaksa. Apa kau sengaja menjatuhkan harga
diriku di depan gadis yang kucintai?“
Aku tak tahu
kata apa yang harus kuucap lebih dulu. Kata demi kata yang kucoba rangkai, lagi
dan lagi gagal menjadi satu kalimat yang utuh. Mengapa sangat sulit
mengungkapkan sesuatu yang sangat meyesakkan dadaku ini? Semua fungsi kerja
tubuhku seperti berlawanan. Bibirku benar-benar tak mampu mengucap satukata
pun.
“diam mu saja
sudah sulit ku artikan apalagi sepatah kata yang akan kudengar dari bibirmu.
Aku tidak sedang baik-baik saja, jadi akan sia-sia jika mencerna kata-kata yang
akan kudengar nanti, otakku tidak dapat mencernanya dengan benar. Aku pikir
menyimpan perasaan ini sendirian jauh lebih mudah dibandingkan harus menjaga
jarak denganmu atas perasaanku yang kau ketahui nantinya. Ini yang aku sesali,
terlihat bodoh dan menyedihkan setelah mendapat penolakan cinta yang bertepuk
sebelah tangan.” Taehyung menutur panjang dengan nada datar, tetapi
kata-katanya cukup menusuk dadaku, memojokkanku seolah-olah aku adalah orang
paling jahat yang telah mengabaikannya dan membiarkannya menyimpan rasa sakitnya
sendirian.
“mianhe…” satu
kata terlontar begitu saja. Semua kata di isi kepalaku yang hampir meledak
hanya dapat kusimpulkan dengan satu kata maaf. Tidak menggambarkan suasana saat
ini dengan baik, karena aku pun tidak tahu siapa tersangka yang bersalah atas
perasaan ini. Air mataku tiba-tiba saja mengalir membasahi pipi, semakin deras
membuat dadaku semakin sesak.
“kau tidak perlu
menjauh, karena aku tahu bagaimana caranya berjalan mundur. Selain membenci
Yifan hyung dalam diam, aku bisa apa? Memaksamu membalas perasaanku? Aku tidak
sejahat itu Bang Minah-ssi. “ Taehyung tersenyum kecut, kini tangannya meraih
dan menggenggam tanganku erat, meyakinkan aku bahwa sekarang dia baik-baik
saja. Sedangkan tangisku semakin menjadi-jadi, membuatku menjadi pusat
perhatian di café ini karena isakan tangisku yang tak kunjung reda.
Aku semakin
tidak mengerti siapa yang paling menyedihkan dalam hal ini, kakak beradik itu membuatku
menjadi tokoh antagonis dan protagonis dalam satu waktu. Taehyung baru saja
mendapat penolakan dariku lalu bagaimana denganku yang selalu diabaikan oleh
Yifan? Apa aku juga harus menyimpan perasaan ini sendirian daripada harus
menjaga jarak dengan Yifan nantinya?
Getaran ponselku
yang beradu pada meja kayu itu mengalihkan pikiranku, sejenak isak tangisku
berhenti. Terpampang nama Mr. Wu pada layar lebar itu, aku meraih ponselku yang
sedari tadi terabaikan, tanganku gemetar,
pikiranku menimbang kembali apa yang harus kulakukan. Seketika aku menggeser
tombol merah ke sebelah kiri sebagai tanda mengabaikan panggilannya.
“pekerjaanku masih menggunung, aku duluan ya!”
pamitku meninggalkan Taehyung. Aku bergegas pergi membawa semua rasa
bersalahku, rasanya tidak nyaman lagi berada lama-lama di dekat Taehyung,
perasaan bersalahku semakin menjadi-jadi. Namja yang mencintaiku, mengapa harus
Taehyung? Bukannya aku tidak menghargai perasaannya, hanya aku rasa ini terlalu
rumit. Aku dengan bodohnya tanpa sadar mengabaikan satu-satunya namja yang
mencintaiku dengan tulus, sedangkan namja yang mengabaikanku, setengah mati aku
mencintainya.
***
Minah POV
“perasaanmu itu,
aku sudah tahu dari Taehyung semalam. Lupakan saja dan berhentilah melakukan
sesuatu yang salah.” Satu kalimat utuh terdengar jelas menggema di lorong ruang
kantorku yang mulai sepi. Sepertinya aku yang tera khir meninggalkan ruangan
ini, karena tadi siang terlalu lama meninggalkan pekerjaan yang menggunung itu.
Aku kenal betul dengan suara parau itu,
aku berjalan mendekati arah suara itu, entah sejak kapan Yifan berada disini,
aku pun tidak memintanya menemuiku.
Aku terkejut
mendapati Yifan yang tiba-tiba mengetahui perasaanku. Aku benar-benar terlihat
memalukan. Mendapat penolakan setelah melakukan penolakan siang tadi, ditambah Yifan
mengetahuinya bukan dari bibirku sendiri. Aku seperti pecundang dan Taehyung sebagai malaikat cinta yang
sedang berusaha menyatukan cinta sepasang manusia. Menjijikan. Taehyung benar-benar
menyebalkan. Aishh…
“dasar egois!
Kalau mencintaimu adalah salah, setidaknya ajari aku bagaimana caranya menjadi
benar. Seenaknya saja memberi perintah, kau pikir kau siapa?“ kata-kataku
terdengar lantang, tak ada lagi perasaan harus menjaga image se-feminime
mungkin di depan seorang Wu Yifan. Aku sudah tak tahan lagi dengan gaya bossy nya itu. Seenaknya saja.
“Aku pikir aku
baru saja memberitahumu. Jika kau bukan gadis bodoh, harusnya kau mengerti apa
yang ku katakan tadi.”
Tiba-tiba saja
tubuhku gemetar hebat, berada di dekat seorang Wu Yifan yang dingin benar-benar
membuat otakku membeku, tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya hingga aku
selalu terlihat bodoh di hadapannya.
“Lupakan
perasaanmu” sekali lagi ia menjelaskan bagian yang tidak ku pahami. Membuat aku
semakin tersudutkan olehnya. Kata-katanya yang tajam benar-benar menusuk
hatiku. Jika saja aku tidak diharuskan menjaga harga diriku, sudah kucaci maki
laki-laki di hadapanku ini. Perasaan cinta yang selama ini menggebu-gebu meluap
begitu saja. Mungkin bukan cintaku, hanya sinar mentari yang dapat
menghangatkan dinginnya hati seorang Wu Yifan.
“kau benar. Aku
memang gadis bodoh yang rela memberikan hati seutuhnya untuk dilukai oleh orang
lain. Ka– “ belum sempat menyampaikan kalimatku dengan utuh, Yifan memotongnya
dengan cepat.
“aku tidak pernah
merasa menerimanya, itu hanya ilusi yang kau buat-buat. Memutar balikkan fakta
dan membuat seolah semuanya salahku yang mengabaikan perasaanmu. Licik. “ Yifan
tersenyum malas sembari menatapku tajam. Matanya benar-benar menusuk hingga
rasanya seperti aku ingin mati saja. Mendengar penuturan Yifan tadi, kaki ku
sudah tidak kuat lagi berdiri menopang tubuhku yang semakin gemetar hebat.
Tubuhku terkulai ke lantai yang dingin, Yifan benar-benar membunuhku dengan
lidah tajamnya itu.
“aku hanya punya satu hati untuk mencintai dan
hati itu sudah kuberikan pada Soyou, tidak peduli apakah dia akan menjaganya
dengan benar, bagiku hanya dia satu-satunya wanita yang bisa aku cintai dengan
benar. Jika aku diharuskan untuk memilihmu, aku bisa saja menjalaninya
denganmu. Mencintaimu tidak dengan hati, karena aku benar-benar sudah tidak
memiliki hati itu lagi. Aku tidak sekejam itu Bang Minah-ssi. Perpisahan hanya
masalah waktu, jika aku bisa memilih, tentu saja aku memilih berakhir bersama
dengan Soyou, entah bahagia atau harus berakhir dengan menyedihkan.”
Selesai dengan
kata-kata yang baru saja ia ungkapkan, Wu Yifan berlalu begitu saja. Bayangan
tinggi dan tegap itu kian menjauh dan lenyap meninggalkan lorong ruangan ini.
Bersamaan dengan lenyapnya perasaanku kepadanya. Kata-katanya tadi sukses
membuatku membenci sosok seorang Wu Yifan. Terima kasih Wu Yifan telah
membuatku sadar dari ilusi yang menyeramkan itu.
Aku benar-benar
berakhir dengan menyedihkan, mendapat penolakan setelah melakukan penolakan.
Kehilangan dua namja yang aku sayangi dalam satu waktu. Tidak bisa memiliki
keduanya karena aku diharuskan memilih dengan catatan menyakiti salah satunya.
Hidup dalam kebohongan yang indah atau hidup dengan realita yang menyakitkan.
Tidak pernah ada kata saling dalam hubungan kami.
Aku, Taehyung, dan Yifan
sama-sama merasakan bagian tersulit dalam mencintai seseorang, yaitu menunggu
dia yang dicinta balas mencintaimu. Karena seringnya orang kau cintai dan mencintaimu
adalah bukan orang yang sama.
4 komentar:
EH INI APA?!?!? KOK GUE BARU LIATTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT
HARUS BACA ASAP! BENTAR GUE AMBIL HAPE GUE BACA DOLOE
INI PAS BUAT LOMBA HIDESIGN YA?!?!?!?!?!?! gue tau kok pas lu bikin ff itu tapi kok gue beloman baca yak?!
lebron 16
nike air vapormax
supreme
balenciaga shoes
jordan 12
balenciaga shoes
adidas nmd r1
supreme clothing
vapormax
yeezy
h0w58k9h04 b3f72g7t90 k5n29v0e22 h0m74c6a42 e0v61b8o98 d5g95b9c16
Posting Komentar